Wednesday 4 February 2009

resonansi

Waktu takkan pernah berjalan ditempat
Ia berlalu mengikuti ritme
Mengeluh pada frekuensi yang sama .;resonansi
Meski engkau hidup sehari lagi
Entah itu dalam mimpi atau dalam nyanyi
Rasa itu akan tetap bersemi .: damai
Semoga malaikan mendengar dan mengamini

11.03 .: dalam ketidakmengertian belajar fisika

2 comments:

  1. Waktu berputar,
    Suara menggelegar,
    Dentuman meriam terdengar,
    Mungkin resonansi pun keluar,

    Inikah "resonansi" ?
    tapi kenapa tidak ada bunyi ?
    ato ini mungkin suatu "resolusi "?
    Tapi terlihat ini mungkin puisi,

    Sungguhkah ini puisi ?
    ato hanya sekedar belajar mengungkap sebuah "ketidakmengertian" ?
    Mungkin dengan caramu yang unik,
    Dengan puisi ato malah dengan mimpi,

    Seperti engkau bernyanyi,
    tapi tak mengeluarkan bunyi,
    Seprti engkau berdiskusi,
    tapi pada orang tuli,
    apa yang bisa aku mengerti ?
    apa yang dapat mereka pahami ?

    Sumpah!aku tak mengerti dg puisi ini,
    apa karena aku kurang rasa t'hadap seni,
    ato memang aku buta terhadap sastra,
    Ato memang puisi biasanya sulit untuk dimengerti ?
    Ato jangan jangan ini sbuah puisi yg tdk untuk dipahami,
    Karena bahan ini pun terlihat lahir dari sebuah bangunan ketidakmengertian,
    sebuah reruntuhan,
    Ada sesuatu yang rapuh,
    tidak utuh,
    bahkan tak tersentuh

    Mungkin karena ketidaktahuan,
    ato mungkin saja ketidakmampuan.
    sebuah keterbatasan sel otak menghadapi formula fisika,
    Bukan karena kita tak pandai,
    bukan karena kt bodoh,
    Mungkin karena kita kekenyangan,
    hingga ditimpuk makanan selezat apapun,
    perut otak dengan sopan akan menolak,
    kalau di sana tak ada lg ruang untuk diisi sesuatu,
    termasuk jg mungkin ilmu,

    atau mungkin saja karena kita hanya lengah,
    ya kita lengah
    pikiran lemah
    saat fisika menyerang di kepala,
    nutrisi tak ada,
    perut yg kelaparan menyapa,
    membuat otak tak bertenaga,
    Kita pun tak bisa berbuat apa apa,
    Sisa energi untuk belajar pun tak ada,
    apa lagi harus mencerna materi fisika yg serba susah,
    Bendera putih pun berkibar di angkasa,
    Tanda bahwa kita sudah kalah..
    Mungkin kalah tanpa perlawanan
    Kalah dalam ketidakmengertian

    Mungkin kita tidak mengerti,
    Tapi bukankah ketidakmengertian itu sebuah "stimulus"?
    sebuah petunjuk
    sebuah perangsang
    yang mungkin saja akan membantu menyibak "misteri ketidakmengertian",
    menjadikan dia penunjuk jalan menuju "pengetahuan"
    Mungkin dalam ketidakmengertian lahir "sesuatu yang baru"
    Karena pengetahuan bukan hanya yg kita "pelajari",
    Mungkin juga yg kita "temui" dalam kehidupan sehari hari,

    Kenapa kt berharap yg "indah" itu selalu bersemi dalam mimpi?
    menari dalam nyanyi?
    Bukankah kita ini hidup di jagad realiti,
    kenapa kita terus berdongeng dan bermimpi?

    Orang sudah mendarat di bulan,
    mungkin kita masih bermimpi naik ke bulan ?

    Boleh saja kita bermimpi,
    Mungkin saja mimpilah yang membuat kt bertahan hidup,
    Mimpilah yg membuat hidup kita semakin hidup,
    Tapi jangan keasyikan bermimpi,
    Nanti lupa aksi,
    Tak ada aksi, tak ada reaksi,
    tak ada wujud,
    lalu apa yg harus kita lihat ?
    Haruskah imajinasi itu terus menghantui mimpi ?

    Beruntunglah jk di dunia masih ada kesempatan untuk menikmati mimpi,
    Matipun tak akan sia sia,
    Jika mimpi pun jadi nyata,

    Kalu cuman bisa bermimpi tanpa aksi,
    lebih baik mati membawa mimpi,
    Seindah indahnya mimpi,
    Masih lebih baik hidup di dalam realita bagaimana pun pahit dan kejamnya....

    Saat aku terbangun, satu pertanyaan yang tak kutemukan jawabannya,
    Kenapa kita tak bisa seprti mereka ?
    Apa karena kita beda bacaan ?
    beda budaya ?
    beda semangat ?
    beda paradigma berpikir ?
    atau apa yang beda ?

    Sungguh kasihan,Negeri kita ini terlalu cengeng,
    Mungkin karena dimanjakan oleh dogeng,
    Dibesarkan oleh setumpuk mimpi
    jadi masih terlelap tak sadarkan diri,
    keenakan hingga belum bangun dari mimpi
    mimpi yang terlalu amat berkepanjangan,
    mungkin tak berkesudahan,
    Hingga tak lagi bisa membedakan,
    apa dia hidup di dalam mimpi yg begitu maya,
    atau sudah menginjak di dunia yg kasat mata?

    Mereka sudah punya ratusan nuklir,
    Tapi kita ?
    kita mungkin masih diperkenalkan apa itu nuklir ?
    hiroshima nagasaki jadi saksi betapa dahsyatnya sebuah nuklir,
    Mungkin kita masih mengenal anasirnya,
    Di umur yang masih begitu belia,
    mereka mampu merakit sebuah robot ?
    tapi kita?
    kita mungkin hanya tau membuat perabot,
    kalau itu tak bisa disebut sapu lidi,

    Boleh kita bangga apa yg menjadi aset kita,
    Hasil alam yang melimpah,
    Hutan yang rimbah,
    flora dan fauna yang beraneka,
    suku, adat,dan bahasa yang begitu kaya,
    Tapi cukupkah kalo semuanya itu tak mampu dikelola ?

    Negeri asing sedang asik menyantap,
    Lalu kita hanya bisa berdiam diri sambil menatap,

    Tak banyak yang kita bisa perbuat,
    Karena mereka memiliki sesuatu yang tdk kita punyai,
    Kt boleh melimpah sumber daya alamnya,
    tapi mereka kaya sumber daya manusianya...

    Bukannya kita ini membeda bedakan,
    Apa yang meraka punyai, dan apa yang kita miliki,
    Tapi bukankah memang kita ini sudah berbeda,
    Apalah makna sebuah perbedaan,
    Kalau toh semuanya itu kita maknai dengan kaku,
    Perbedaan ini sifatnya hanya sebuah motivasi,
    Karena dengan perbedaan, kita mampu berkaca,
    kita mampu mengenal diri kita,
    mengenal bangsa kita,
    kita tahu apa yang mesti kita lakukan,
    Tidak hanya sekedar bermimpi,
    Tapi lebih dari mimpi mimpi,

    Ya mungkin saja kita seperti "resonansi"
    Tapi mereka adalah "bunyi"
    Kita cuman dapat "getarannya"
    Tapi merekalah yang mampu "melahirkan getaran"
    Mungkin kita memang selamanya jadi "penikmat"
    Bukan "penyaji"

    MUngkin ethos yang membuat jarak kita berbeda,
    hingga kita mungkin jauh tertinggal,
    bukan selangkah atau dua langkah,
    tapi mungkin tak terhitung lagi ?

    Haruskah kita selamanya jadi resonansi?
    Tiap kali ada bunyi, kita selalu ada,
    kita selalu mengekor dan mengikut ?
    atau memang jangan jangan kita ini selamanya "pengikut",
    bukan "penganut".
    Untung2 kalo kt mengikut pada apa yg dipercaya,
    dari pada sok pintar bertingkah,
    yang menganut sesuatu tp taklid buta,

    Dari pada aku harus bersembunyi di dalam kesesatan,
    Kebajikan yg dibangun dengan topeng kemunafikan,
    Lebih baik biarkan pikiran ini terjerat,
    di sebuah lembah ketidaktahuan yg penuh sesat,
    namun aku tahu dan sadar bahwa jiwaku ini tak sehat,
    Agar aku tak kehilangan arah,
    untuk menuju kembali kepada Tuhanku,

    Ya Rabb Tuntunlah aku,
    Jangan tuntut aku,
    Jadikan aku penghianat,
    Tapi bukan menghianat kepada-Mu,
    namun menghianat pada orang yg telah berhianat kepadamu,
    Jadikan aku penjahat,
    Tapi bukan menjahati agama-Mu,
    Namun menjahati orang orang yang jahat pd kebenaran,
    Berikanlah aku petunjuk,
    Seperti Engkau memberikan petunjuk kepada Nabi-Mu,
    kepada orang orang pilihanmu,
    Tapi jangan pilih aku sebgai nabi-Mu,
    Karena itu teramat mulia,
    aku hanya hamba yg berlumur dosa dan nista,
    Namun aku sadar,
    Tempat aku kembali hanya kepada-Mu,

    Satu permintaan terakhirku Tuhan,
    Berikanlah anak ini(sipunya blog)sebuah hidayah,
    agar bisa memahami setiap yg dia pelajari,
    Berikanlah dia kemudahan untuk mempelajari segala hal,
    Tapi jangan terlalu Tuhan,nanti lupa daratan,hehehe...
    Jadikan ia semacam pohon rindang,
    menjadi tempat siapa saja untuk berteduh

    Jaka sembung gi main Gitar,
    Nga nyambung pintar...*senyum hangat,tp rada sedikit jahat,hehehe*

    ReplyDelete
  2. @ LA CREATOR

    makasihh..
    keren bgt euyyy..

    ReplyDelete

silahkan meninggalkan pesan :)